Genap dua minggu "nruthus" di Madiun, saya tersodok gelora optimisme sekaligus ditikam pisau pesimistik oleh gairah seni budaya serta "nasib" seniman dan pekerja budaya di Kota Gadis yang tengah bermetamoforsa jadi Kota Karismatik. Saya terkesan oleh kerja budaya yang sangat keras Mas Herutomo menciptakan galeri ranting di lahan seluas satu hektar di Dungus Forest Park. Saya terkesan oleh karya kolase Hendry'putra Pratama siswa Kelas 3 SLTA di Kresek, fotoword Mas Yoyork, Kentrung Akung Bondhet, juga intensitas kecintaan Mas Gentur Kusuma Aspurba dan Mas Jans Susetyo terhadap heritage serta jejak sejarah Madiun.
Kerja budaya yang mereka lakukan itu sungguh menerbitkan harapan bagi masa depan seni budaya Madiun yang cerah. Namun, ketika saya berbincang dan menelisik lebih ke dalam realitas faktual yang dialami para pekerja budaya yang tangguh itu, harapan saya menjadi pudar, optimisme yang semula menggelora langsung mengkerut.
Betapa tidak? Pergulatan kesenian yang mereka lakukan, perongkosan kerja budaya yang mereka pertaruhkan, sepenuhnya atas daya upaya mereka sendir!! Tanpa support dan atau keterlibatan lembaga pendidikan tinggi, dunia usaha, institusi pemerintah daerah, pers dan apa lagi tokoh elite Madiun yang tergerak menjadi maecenas. Ini sungguh realitas faktual yang dalam bahasa keseharian disebut "bo ceng li" alias tidak masuk akal sekaligus tidak etis.
Sebagai contoh konkret adalah Kentrung Edukasi yang digiatkan Akung Bondhet di sebuah SD di Kota Madiun. Selain pihak SD yang anak didiknya ikut kegiatan Kentrung Edukasi, segala sesuatunya dipikul oleh Akung Bondhet sendiri. Mulai dari menulis naskah, melatih anak-anak, menyiapkan pementasan bahkan menerbitkan buku naskah Kentrung Edukasi sepenuhnya dilakukan oleh Akung Bondhet.
Passion dan kecintaan kepada seni budaya adalah daya hidup berkesenian yang membuat kenapa Akung Bondhet dan para pekerja budaya yang menggulati seni budaya Madiun tetap dan terus berkarya. Saya yakin, sampai matipun mereka akan setia berkarya! Tapi, sampai kapan potret buram "bo ceng li"" terhadap kerja budaya di Madiun itu dibiarkan menampik semboyan Kabupaten Kondusif dan Kota Karismatik?
Padahal, pada Juli 2017 yang lalu, ketika saya bersama Mas Moer Sito, Mas Herutomo, Tatok Raya, dan Donny Aries membentuk Jaringan Pekerja Budaya Madiun dan menawarkan Gerakan Budaya Bersih Korupsi lewat Monumen Gembok Kejujuran, Pak Sugeng Rismiyanto (Walikota) dan Pak Muhtarom (Bupati) dengan cepat merespon dan menyediakan tempat yang layak untuk seni instalasi yang kini berdiri di Lapangan Gulun dan Mejayan.
Maka menjadi pertanyaan besar bagi saya kenapa Pak Sugeng dan Pak Muhtarom sepertinya tidak menaruh perhatian kepada kredo dan pergulatan kesenian para pekerja budaya di Madiun? Apa yang keliru dan tidak terkomunikasikan? Kenapa realitas "bo ceng li" seperti itu bisa luput dari perhatian dan terabaikan begitu lama?
Dengan menyisihkan biaya dari APBD yang jauh lebih sedikit dari ongkos videotron yang kelak hanya akan jadi sampah elektronik dan biaya gapura "freemason" yang tak lama berdiri harus dibongkar lagi, maka para pekerja budaya yang dengan mudah dapat didata aktivitas konkretnya tentu akan mampu melahirkan karya-karya yang jauh lebih "abadi" dari sekadar videotron maupun gapura ganjil itu.
Esai pendek ini, apa boleh buat, mungkin akan membuat banyak pihak merasa terganggu. Tapi saya lebih berharap opini saya tentang potret buram "bo ceng li" ini akan mengundang saran, kritik, masukan dan pemikiran yang lebih bernas bagi harapan dan masa depan seni budaya Madiun.
Salam manusia gembira.
Komentar
Posting Komentar