Mbah Google adalah
tempat jawaban semua pertanyaan. Wikipedia adalah ensiklopedi segala jenis
pengetahuan yang ada di dunia. Media sosial sejenis FB, twitter,
Instagram, portal online, media daring dan sebangsanya adalah jejaring beragam
informasi yang terakses dan membanjiri ruang pribadi pengguna mefsos. Dengan
demikian di zaman now internet adalah "nabi" dan medsos laksana
"kitab suci " bagi kaum milinea dan penganut "agama gadget"
yang bersujud di "altar maya".
Internet memang
"saka guru" zaman informasi. Berkat internet siapapun dan di manapun
dalam waktu yang sama bisa mendapatkan informasi apapun. Berkat internet pula
siapapun bisa membuat dan menyebarkan informasi apapun kepada khalayak di
manapun. Pada titik inilah kemudian hoax, berita dusta dan ujaran kebencian
menemukan habitat ideal untuk berkembang biak dengan subur dan leluasa.
Celakanya, karena bagi penganut "agama gadget" semua informasi yang
tersebar di jejaring "altar maya" bisa dan biasa diterima sebagai
"kebenaran", maka hoax atau bukan hoax menjadi sulit dibedakan.
Untuk tujuan politik,
ekonomi atau sekadar iseng, hoax akan terus diproduksi dan disebarluaskan.
Tentu saja hoax harus dilawan, seperti yang sekarang ini sedang gencar
dilakukan. Dengan .membentuk "satgas antihoax" yang punya wewenang
melakukan tindakan hukum terhadap pembuat dan penyebar hoax. Atau dengan
menggalang komunitas antihoax lengkap dengan slogan dan semboyan perlawanan
terhadap hoax. Dan hasilnya sejumlah "produsen" hoax berhasil
diringkus. Tapi hoax yang sudah terlanjur tersebar tetap bergentayangan
nyamperin pengguna medsos dan pemuja "altar maya". Di sisi lain, hoax
yang lain terus diproduksi dan disebarluaskan untuk tujuan politik, ekonomi
maupun sekadar iseng.
Dalam pelbagai diskusi
tentang hoax, saya selalu dihadapkan pada pernyataan-pernyataan yang pada
intinya "mendewakan" internet sebagai berkah teknologi informasi
manusia modern yang absolut, tidak terelakkan. Dan yang mencemaskan saya adalah
tidak adanya keraguan dan atau penalaran bahwa content yang diusung internet
adalah "belum tentu benar". Padahal, bagi saya, pandangan dan sikap
seperti itu sesungguhya justru akan menumpulkan daya kritis pengguna medsos.
Daya kritis mencerna
informasi, kita tahu, berbanding lurus dengan "tradisi berpikir" yang
diperoleh dari kebutuhan membaca buku sebagai literatur pengetahuan. Padahal,
di Indonesia, minat baca buku sangat memprihatinkan. Ketika gairah, kebutuhan
dan minat membaca "bahasa tekstual" belum lagi "selesai"
terlaksana, masyarakat sudah harus dihadapkan pada "bahasa
audio-visual" yang dicekokkan televisi. Belum lagi "selesai"
belajar "bahasa audio-visual" yang penuh muslihat teknologi,
masyarakat sudah harus mengonsumsi "bahasa digital" yang membanjiri internet.
Maka, tanpa bermaksud merendahkan, bisa dimaklumi jika daya kritis mayoritas
pengguna medsos, utamanya kalangan masyarakat kebanyakan, menjadi sedemikian
rapuh untuk tidak menyebutnya mengalami malfungsi.
Oleh karena itu ketika
"rekayasa" telor palsu hasil muslihat "bahasa audio-visual"
beredar viral di internet, ketika sulapan optik "bahasa digital"
menyebarkan beragam hoax politik dan bahkan foto tragedi kemanusiaan Rohinghya
pun dipalsukan, pengguna medsos menerimanya sebagai informasi yang faktual.
Kegaduhan pun timbul. Ketakutan khalayak marak dan kemarahan massa tersulut.
Bantahan dan verifikasi pun dengan gencar dilakukan sampai akhirnya hoax
tersebut dimengerti publik sebagai informasi abal-abal alias bohong belaka.
Tapi, bantahan dan verifikasi tersebut sayangnya tanpa diikuti upaya-upaya
berkelanjutan membangun daya kritis pengguna medsos yang rapuh dan
malfungsi, sehingga tetap rentan termakan hoax.
Perlawanan terhadap
hoax, penggalangan masyarakat antihoax, penangkapan dan tindakan hukum terhadap
pembuat dan penyebar hoax memang harus dilakukan. Begitu pula ketersediaan
sistem dan atau aplikasi gadget yang secara canggih mampu mendeteksi
"kehadiran" hoax di jejaring internet dan sanggup
"memetakan" jaringan produsen sekaligus penyebar hoax, memang sangat
diperlukan. Tapi, hemat saya, tanpa upaya membangun daya kritis pengguna medsos
maka energi perlawanan terhadap hoax ibarat menggarami lautan.
Dalam konteks
membangun daya kritis pengguna medsos, saya menaruh harapan pada gagasan Better
Indonesia yang disampaikan Ketua Umum Aliansi Jurmalis Online (AJO), Rival
Achmad Labhaika, kepada Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko di Kantor Staf
Presiden, Selasa 20/4/2018. Utamanya pada point, "Jika media mainstream memiliki wartawan di
seluruh Indonesia, AJO Indonesia memiliki media yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia. Kita akan kumpulkan seluruh media online yang ada di
berbagai wilayah Indonesia. Kita perkuat kapasitasnya mulai dari tata kelola
keredaksian, kompetensi wartawan hingga menyoal pada kesejahteraannya,"
kata Rival.
Menguatkan kompetensi
jurnalis online, hemat saya, merupakan langkah strategis untuk membangun daya
kritis "ujung tombak" pengguna medsos. Sebab, kita tahu, jurnalisme
copy paste yang membuat media daring menjadi seragam, berbanding lurus dengan
kompetensi jurnalis online yang mengkhawatirkan. Untuk membangun daya kritis
pengguna medsos, sungguh diperlukan kompetensi jurnalis yang mampu memahami
"reallitas psikologis" dengan "reallitas sosiologis". Yang
memiliki tradisi berpikir bebas, kritis, serta teguh bersikap dan berpedoman
pada prinsip cover both side. Hal yang sepanjang pengamatan saya semakin sulit
saya temukan di kawasan "altar maya" pengguna medsos. ***
Komentar
Posting Komentar