Sebagaimana diabadikan pula dalam relief Candi Surawana dari abad 14 di Pare, Kediri, dalam tapanya, Arjuna mesti melawan segala macam godaan. Termasuk bujukan bidadari-bidadari kiriman surga. Dua yang tercantik ialah Suprabha dan Tilottama.
“Puasa, pasa atau tapa tersebut kan bagaimana menghadapi segala godaan, bukan cuma santap dan minum, namun nafsu seks, nafsu marah, serakah, dan lainnya,” jelas Dwi.
Dalam karyanya itu, Mpu Kanwa pun menyelipkan pesannya. Katanya, lancang untuk orang yang memohon kesukaan dan kebahagiaan pada Tuhan tanpa pernah mengerjakan brata-yoga-tapa. Bukannya terkabul, malah yang bakal diterima ialah penderitaan dan sakit hati.
Ada lagi cerita Lubdaka dalam Kakawin Siwaratrikalpa. Karya Mpu Tanakung ini diciptakan pada masa Majapahit akhir abad 15. Dikisahkan seorang pemburu mempunyai nama Lubdaka darurat harus bermalam di atas pohon Bilwa di tengah hutan, sesudah seharian mustahil hasil. Dia pun sekitar sehari sarat berpuasa tak santap dan minum.
Malam tersebut rupanya bertepatan dengan Siwaratri, malam pemujaan untuk Dewa Siwa. Dia juga seakan sedang mengerjakan puja sebab tak sengaja menjatuhkan daun dan air ke atas lingga yang terdapat di bawahnya. Amalan yang dia kerjakan itu, walau tanpa disadari, kesudahannya membawanya pada keagungan di alam Siwaloka.
Puasa atau tirakat untuk kehidupan masyarakat Jawa Kuno adalahbagian dari doktrin hidup. Berdasarkan keterangan dari Dwi, dalam karesian dan kadewaguruan, tapa menjadi di antara materi pelajaran. Kemampuan guna mengendalikan nafsu dinilai penting, terutama untuk seseorang yang bakal terjun ke dunia nyata.
Dalam catur asrama, atau empat langkah kehidupan sebelum menjangkau moksa, fase tersebut akan dilewati sebagai seorang Brahmacari. Tapa adalahtahapan sangat awal.
Seseorang bakal kembali menjalani tapanya saat mencapai fase yang ketiga, wanaprasta. Pada etape ini, seorang kepala lokasi tinggal tangga mesti meninggalkan dunianya mengarah ke kesunyian di tempat-tempat terpencil.
“Aktivitas pengendalian diri ini memang lebih sering dilaksanakan ketika masuk masa transisi, saat muda inginkan terjun ke dunia, atau saat menjelang tuanya,” jelas Dwi.
Contohnya ialah Airlangga. Seperti diuraikan dalam Prasasti Pucangan (1042), raja tersebut juga mengawali karier politiknya sesudah lebih dulu hidup di kalangan pertapa. Sebelum dinobatkan sebagai raja pada 1009, Airlangga sekitar dua tahun melakukan pelajaran rohani di Gunung Pucangan yang terdapat di perbatasan Lamongan dan Jombang.
Pada masa akhir pemerintahannya, dia juga kembali menjalani tapanya. Setelah dia membagi kerajaannya menjadi dua: Janggala dan Panjalu.
“Airlangga menjadikan figur Arjuna (dalam Arjunawiwaha, red.) sebagai model. Ini pun kenapa cerita Arjuna hadir pada era Airlangga,” ujar Dwi.
Aktivitas semacam ini kian subur mendekati era akhir Majapahit. Pusat-pusat keagamaan tidak sedikit bermunculan di lereng gunung yang terpencil.
Ada suatu prasasti pendek dari Gunung Nyamil yang berasal dari masa Majapahit akhir. Di dalamnya disebutkan pelbagai jenis format tapa. Salah satunya dilafalkan kata-kata hatapa racut, yang sehubungan dengan usaha pelepasan diri dari segala dosa.
Lalu terdapat lagi relief di Candi Gambar Wetan, Blitar. Di sana dicerminkan seorang wanita yang sedang bersemadi seraya duduk telanjang. Perilaku yang sama diwujudkan oleh seorang pertapa laki-laki dalam relief di Candi Kedaton, Probolinggo.
Topo ngalong, bertapa dengan posisi kaki di atas, kepala di bawah laksana kalong pun mungkin dikenal semenjak itu. Ada relief yang menggambarkannya di Candi Cetho, Karanganyar.
“Artinya, pekerjaan ini dulu paling beragam. Kalaupun kini adanya poso patigeni, mutih, kungkum, itu melulu sisa dulu yang beragam, dulu subur dilakukan,” ujar Dwi.
Mengakarnya konsep ini di tengah masyarakat Nusantara menciptakan konsep puasa yang diangkut oleh penyebar agama Islam tak susah diterima. Masyarakat Nusantara telah tak kaget lagi saat mendapat perintah Rukun Islam yang salah satunya mengharuskan menyangga diri dari segala nafsu
“Puasa, pasa atau tapa tersebut kan bagaimana menghadapi segala godaan, bukan cuma santap dan minum, namun nafsu seks, nafsu marah, serakah, dan lainnya,” jelas Dwi.
Dalam karyanya itu, Mpu Kanwa pun menyelipkan pesannya. Katanya, lancang untuk orang yang memohon kesukaan dan kebahagiaan pada Tuhan tanpa pernah mengerjakan brata-yoga-tapa. Bukannya terkabul, malah yang bakal diterima ialah penderitaan dan sakit hati.
Ada lagi cerita Lubdaka dalam Kakawin Siwaratrikalpa. Karya Mpu Tanakung ini diciptakan pada masa Majapahit akhir abad 15. Dikisahkan seorang pemburu mempunyai nama Lubdaka darurat harus bermalam di atas pohon Bilwa di tengah hutan, sesudah seharian mustahil hasil. Dia pun sekitar sehari sarat berpuasa tak santap dan minum.
Malam tersebut rupanya bertepatan dengan Siwaratri, malam pemujaan untuk Dewa Siwa. Dia juga seakan sedang mengerjakan puja sebab tak sengaja menjatuhkan daun dan air ke atas lingga yang terdapat di bawahnya. Amalan yang dia kerjakan itu, walau tanpa disadari, kesudahannya membawanya pada keagungan di alam Siwaloka.
Puasa atau tirakat untuk kehidupan masyarakat Jawa Kuno adalahbagian dari doktrin hidup. Berdasarkan keterangan dari Dwi, dalam karesian dan kadewaguruan, tapa menjadi di antara materi pelajaran. Kemampuan guna mengendalikan nafsu dinilai penting, terutama untuk seseorang yang bakal terjun ke dunia nyata.
Dalam catur asrama, atau empat langkah kehidupan sebelum menjangkau moksa, fase tersebut akan dilewati sebagai seorang Brahmacari. Tapa adalahtahapan sangat awal.
Seseorang bakal kembali menjalani tapanya saat mencapai fase yang ketiga, wanaprasta. Pada etape ini, seorang kepala lokasi tinggal tangga mesti meninggalkan dunianya mengarah ke kesunyian di tempat-tempat terpencil.
“Aktivitas pengendalian diri ini memang lebih sering dilaksanakan ketika masuk masa transisi, saat muda inginkan terjun ke dunia, atau saat menjelang tuanya,” jelas Dwi.
Contohnya ialah Airlangga. Seperti diuraikan dalam Prasasti Pucangan (1042), raja tersebut juga mengawali karier politiknya sesudah lebih dulu hidup di kalangan pertapa. Sebelum dinobatkan sebagai raja pada 1009, Airlangga sekitar dua tahun melakukan pelajaran rohani di Gunung Pucangan yang terdapat di perbatasan Lamongan dan Jombang.
Pada masa akhir pemerintahannya, dia juga kembali menjalani tapanya. Setelah dia membagi kerajaannya menjadi dua: Janggala dan Panjalu.
“Airlangga menjadikan figur Arjuna (dalam Arjunawiwaha, red.) sebagai model. Ini pun kenapa cerita Arjuna hadir pada era Airlangga,” ujar Dwi.
Aktivitas semacam ini kian subur mendekati era akhir Majapahit. Pusat-pusat keagamaan tidak sedikit bermunculan di lereng gunung yang terpencil.
Ada suatu prasasti pendek dari Gunung Nyamil yang berasal dari masa Majapahit akhir. Di dalamnya disebutkan pelbagai jenis format tapa. Salah satunya dilafalkan kata-kata hatapa racut, yang sehubungan dengan usaha pelepasan diri dari segala dosa.
Lalu terdapat lagi relief di Candi Gambar Wetan, Blitar. Di sana dicerminkan seorang wanita yang sedang bersemadi seraya duduk telanjang. Perilaku yang sama diwujudkan oleh seorang pertapa laki-laki dalam relief di Candi Kedaton, Probolinggo.
Topo ngalong, bertapa dengan posisi kaki di atas, kepala di bawah laksana kalong pun mungkin dikenal semenjak itu. Ada relief yang menggambarkannya di Candi Cetho, Karanganyar.
“Artinya, pekerjaan ini dulu paling beragam. Kalaupun kini adanya poso patigeni, mutih, kungkum, itu melulu sisa dulu yang beragam, dulu subur dilakukan,” ujar Dwi.
Mengakarnya konsep ini di tengah masyarakat Nusantara menciptakan konsep puasa yang diangkut oleh penyebar agama Islam tak susah diterima. Masyarakat Nusantara telah tak kaget lagi saat mendapat perintah Rukun Islam yang salah satunya mengharuskan menyangga diri dari segala nafsu
Komentar
Posting Komentar