Seorang wanita nakal yang tak sedikit pun memiliki rasa taat kepada Sang Pencipta. Gemar mengecat rambut, melukis pewarna pada kuku, memakai wangi-wangian, berhias berlebih-lebihan, abaya hanya kusampirkan di pundak demi menarik perhatian para lelaki.
Aku tidak sama sekali menjatuhkan kening di atas sajadah. Bahkan, seolah melupakan cara shalat yang baik dan benar.
Herannya, dengan perilaku semacam itu, aku ini seorang pengajar. Ya, profesiku adalah guru di salah satu sekolah di kota Riyadh. Berangkat dari subuh lalu kembali setelah ashar.
Di antara para guru wanita, hanya akulah yang masih lajang. Dan aku pulalah yang seolah tak memiliki rasa malu kepada sopir yang biasa mengantar kami: mengajaknya mengobrol dan bercanda seolah salah satu kerabat dekat.
Pada suatu pagi, aku bangun terlambat. Saat memasuki mobil yang biasa ditumpangi, aku baru tersadar kalau kursi belakang kosong setelah berada di dalamnya.
Kutanyakan pada sopir di mana teman-temanku, dia katakan bahwa fulanah sedang sakit, ada pula yang tengah melahirkan.
Aku berkata dalam hati, "Baiklah, karena perjalanannya cukup jauh, aku akan tidur."
Setelah beberapa lama, aku terbangun dari tidurku karena mobil melintasi jalan rusak. Saat itu aku benar-benar kaget dan heran, karena berada di tempat asing setelah membuka kaca jendela.
"Di mana ini? Apa yang terjadi? Ke mana kau akan membawaku?" tanyaku dengan perasaan was-was.
"Kau akan tahu," ucapnya dengan wajah seolah kerasukan setan.
Semakin jauh mobil melaju, aku semakin sadar bahwa dia memiliki rencana buruk. Dia ingin menculik dan memperkosaku.
"Apa kau tak takut kepada Allah? Apa kau tak takut dengan hukuman-Nya?" ucapku disertai rasa takut yang sangat.
Entah kalimat apalagi yang keluar dari mulutku, berharap bisa menyadarkannya. Namun, semua sia-sia.
Kau sendiri, apakah tak takut kepada Allah? Engkau tertawa-tawa dan bercanda saat mengobrol denganku. Tak tahukah kau, dengan begitu telah membuatku tergoda? Aku tak akan melepaskanmu sebelum menikmati tubuhmu." Dia katakan itu dengan penuh percaya diri.
Segera saja tangisku meledak. Air mata tumpah. Dan rasa ketakutan menyelinap di dalam hati. Aku berteriak meminta pertolongan hingga suara serak dan hampir habis. Tapi semua sia-sia. Siapa pula yang bisa mendengar di gurun pasir tanpa penghuni ini.
Dalam keputusanasaan itu aku berbicara pada si sopir, "Biarkan aku mengerjakan shalat dua raka'at. Mungkin saja Allah mau mengasihani dan memberi pertolongan."
Mungkin, saking yakinnya dia bahwa semua yang aku lakukan itu percuma. Dia memberi izin.
Aku lalu keluar dari mobil bagai seorang tawanan yang akan menghadapi kematian. Seakan, inilah detik-detik terakhir hidupku.
Aku shalat seadanya, semampuku. Inilah shalat pertamaku. Pertama kalinya menghadap dan bersujud pada Sang Pencipta. Tangan ini menadah ke langit, dengan terisak-isak memohon pertolongan-Nya. Tanah yang sepi menjadi saksi bisu kisah tragis ini.
Hanya beberapa detik setelah shalat ditunaikan, tiba-tiba nampaklah sebuah mobil yang kukenali. Ya, itu mobil saudara laki-lakiku.
Aku meloncat-loncat girang dan gembira. Tak peduli dengan sopir yang marah-marah.
Semakin jelaslah bahwa itu Muhammad, saudara laki-laki yang tinggal seatap denganku, sedang satunya lagi adalah Ahmad, saudara yang ada di Syarqiyyah.
Muhammad datang dan memukul sopir itu dengan kayu keras. Kemudian menyuruhku untuk masuk ke mobil bersama Ahmad. Di antara rasa bahagia dan terkejut aku bertanya, "Bagaimana kalian bisa sampai di sini? Bagaimana kau bisa datang jauh-jauh dari Syarqiyyah?"
"Tunggulah sampai rumah, kau akan mengetahuinya," jawab Ahmad
Setelah menyelesaikan perkara dengan si sopir, Muhammad pun bergabung bersama kami. Sedang aku masih terheran-heran dan tak percaya dengan kejadian ini.
Setelah sampai di rumah, kedua saudaraku berkata, "Temuilah ibu, kau akan tahu semuanya."
Aku bergegas menemui ibu di dapur dan memeluknya. Kemudian menceritakan semua kejadian yang menimpaku dengan tangis sejadi-jadinya.
Ibuku sangat terkejut mendengarnya, dia berkata:
"Ahmad masih di Syarqiyyah dan Muhammad masih tidur di kamarnya."
Aku menghambur ke kamar Muhammad. Membangunkannya dan bertanya perihal peristiwa tadi. Tapi dia bersumpah bahwa tak tahu apa-apa.
Seolah akalku hilang kewarasan setelah mengetahuinya. Langkahku bergegas ke gagang telepon menghubungi Ahmad, dan jawabannya juga membuat aku heran. Bagaimana tidak, dia memang masih di Syarqiyyah dan tidak ke mana-mana.
Tangisku segera pecah. Aku tersedu-sedu seketika. Sungguh, Allah maha baik. Dia berkenan mengirimkan dua malaikat penolongnya untukku. Dia kiri utusan untuk menyelamatkanku.
Sejak itulah awal mula hidayah-Nya datang padaku.
***
Hidayah bisa diberikan dengan cara yang baik dan lembut. Kadang pula datang dengan cara kasar dan menyakitkan. Semoga saja kita termasuk orang-orang yang mendapat hidayah tanpa menanggung derita dan air mata.
Semoga kisah kali ini bisa menjadi renungan dan pelajaran bagi kita semua. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar